Hipotesis Masuk dan Berkembangnya kebudayaan Hindu Buddha ke Indonesia.
Hipotesis masuk dan berkembangnya agama dan kebuadayaan Hindu Buddha di
Indonesia. Hipotesa ini terbagi dalam dua kelompok :
A. Teori Kolonisasi
1. Hipotesis Waisya
Hipotesis Waisya dikemukakan oleh NJ Krom dibawa oleh para pedagang
yang datang untuk menetap dan menikah dengan orang Indonesia
2. Hipotesis Ksatria :
a. CC. Berg menyatakan
bahwa golongan yang turut menyebarkan kebudayaan Hindu Buddha ialah
para petualang yang sebagian besar dari golongan Ksatria. Para Ksatria
tersebut ada yang terlibat langsung konflik perebutan kekuasaan di
Indonesia.
b. Mookerji menyatakan bahwa para Ksatria ini membangun koloni-koloni yang kemudian berkembang menjadi sebuah krajaan.
c. JL Moens tentang
masuknya agama Hindu menyatakan bahwa masuknya agama Hindu ke Indonesia
dibawa oleh para prajurit disebabkan karena adanya kekacauan politik
dan peperangan di India abad ke-4 dan 5 Masehi.Teori penaklukan
diekmukakan oleh FDK Bosch.
d. Hipotesis Brahmana
Hipotesis Brahamana dikemukakan oleh JC. Van Leur
tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Indonesia dibawa oleh kaum
Brahmana yang mendapat undangan kepala suku yang tertarik dengan agama
Hindu.
A. Hipotesa Arus Balik
Hipotesis
Arus Balik merupakan kritik terhadap ketiga teori kolonisasi tersebut
(Waisya, Ksatria, Brahmana) tentang masuknya agama dan kebudayaan Hindu
dilakukan oleh bangsa Indonesia yang belajar ke India dan kembali ke
Indonesia mengajarkan agama Hindu.
Pada
dasarnya keempat teori tersebut memiliki kelemahan yaitu karena
golongan ksatria dan waisya tidak mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan
bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam
kitab suci Weda. Dan golongan Brahmana walaupun menguasai bahasa
Sansekerta tetapi menurut kepercayaan Hindu kolot tidak boleh
menyeberangi laut.
Disamping
pendapat / hipotesa tersebut di atas, terdapat pendapat yang lebih
menekankan pada peranan Bangsa Indonesia sendiri, untuk lebih jelasnya
simak uraian berikut ini.
Hipotesis
Arus Balik dikemukakan oleh FD. K. Bosh. Hipotesis ini menekankan
peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu dan
Budha di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya India di Indonesia
dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan terdidik. Golongan ini
dalam penyebaran budayanya melakukan proses penyebaran yang terjadi
dalam dua tahap yaitu sebagai berikut:
1. Proses
penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta Budha atau para biksu, yang
menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur
dagang, sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan
selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha
belajar agama Budha di India. Sekembalinya dari India mereka membawa
kitab suci, bahasa sansekerta, kemampuan menulis serta kesan-kesan
mengenai kebudayaan India. Dengan demikian peran aktif penyebaran budaya
India, tidak hanya orang India tetapi juga orang-orang Indonesia yaitu
para biksu Indonesia tersebut. Hal ini dibuktikan melalui karya seni
Indonesia yang sudah mendapat pengaruh India masih menunjukan ciri-ciri
Indonesia.
2. Proses penyebaran kedua dilakukan oleh golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta.
Menurut aliran ini seseorang yang dicalonkan untuk menduduki golongan
Brahmana harus mempelajari kitab agama Hindu bertahun-tahun sampai dapat
ditasbihkan menjadi Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah
disucikan oleh Siva dan dapat melakukan upacara Vratyastome / penyucian diri untuk menghindukan seseorang.
Jadi
hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya penganut
Hindu - Budha ke Indonesia. Beberapa hipotesis di atas menunjukan bahwa
masuknya pengaruh Hindu - Budha merupakan satu proses tersendiri yang
terpisah namun tetap di dukung oleh proses perdagangan.
Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta,
dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha masuk ke Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha yang terbuat dari perunggu
diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga (Sulawesi Selatan),
Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumatera Selatan). Dilihat
ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India
Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca
perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai
(KalimantanTimur).
SEMESTER 2
A. Politik etis dan munculnya Golongan Terpelajar Indonesia
SEMESTER 2
A. Politik etis dan munculnya Golongan Terpelajar Indonesia
Pemerintah Belanda memulai Politik
Etis itu pada tahun 1900-an yang ditandai oleh pengangkatan J.B Van Heutsz,
sebagai Gubernur Jenderal (1904-1909) dengan penasehatnya Prof. C. Snouck
Hurgronye, seorang ahli budaya dan agama yang terkenal.
1.
Trilogi Politik
Etis
Isi Politik etis, sebagaimana yang dikemukakan Van Deventer merupakan
Trilogi, yaitu irigasi (pengairan), emigrasi / transmigrasi (perpindahan
penduduk dari satu pulau kepulau yang lain), dan edukasi (pendidikan).
Politik balas
budi yang dicerminkan dalam trilogi Politik Etis itu, menuru Van Deventer
dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Rakyat Indonesia hidup
bertani, pemerintah Belanda harus membangun sarana irigasi.
b. Rakyat Indonesia masih
terbelakang, maka pemerintah harus menyebarluaskan penyelenggaraan pendidikan.
c. Sehubungan dengan
diberlakukannya Undang-Undang Agraria tahun 1870, rakyat Indonesia tidak
leluasa lagi memperluas lahan pertaniannya di Jawa, karena itu pemerintah harus
menyelenggarakan program ransmigrasi dari Jawa ke luar Jawa.
Sejak itu pemerintah Belanda
memperogramkan penyebarluasan pendidikan, membangun sarana irigasi, dan tahun
1905 sejumlah orang Jawa dipindahkan keluar Jawa, antara lain ke Lampung dan
Deli, Sumatra Timur.
Sebenarnya gagasan Politik Etis yang
dicetuskan oleh Van Deventer sangat ideal. Apalagi dengan adanya prinsip
mewujudkan kesejahteraan di Indonesia. Namun pada prakteknya dilapangan,
penyelenggaraan Politik Etis diselewengkan oleh pemerintah Belanda seiring
dengan kepentingan kolonial Belanda di Indonesia. Penyelewengan itu sebagai
berikut :
a. Pendidikan yang dilaksanakan
hanyalah pendidikan tingkat rendah, tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan
akan pegawai rendahan, mandor-mandor atau peleyan-pelayan yang bisa membaca.
Memeng kemudian dibuka sekolah-sekolah menengah, tetapi kebanyakan orang
pribumi tidak mampu menikmatinya karena biayanya mahal.
b. Irigasi hanya dibangun
didaerah-daerah yang terdapat perkebunan milik Belanda,dan
c. Transmigrasi ke luar Jawa,
khususnya di Sumatera, hanya dimaksudkan untuk mempermudah pengusaha-pengusaha
Barat di luar Jawa memperoleh tenaga kerja.
Dengan demikian Politik Etis yang dilancarkan Van Deventer gagal dalam praktik
dilapangan karena pemerintah Belanda tidak memiliki itikad baik untuk
menyejahterakan pribumi.
2.
Edukasi dan
masa depan Indonesia
Politik Etis yang dicetuskan kaum etis dalam prakteknya telah
diselewengkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi bangsa Indonesia tetap
memperoleh keuntungan. Program edukasi yang dilaksanakan oleh Belanda mampu
menumbuhkan golongan terpelajar di Indonesia.
Begitu program Politik Etis mulai dilaksanakan, dibukalah
sekolah-sekolah. Untuk anak-anak bumi putera kalangan bawah didirikan Sekolah
Dasar Bumi Putra kelas dua (de Tweede Klasse), sekolah yang lama pendidikannya
lima tahun ini biayanya sangat mahal. Untuk anak bumi putra kelas menengah
didirikan Sekolah Dasar Bumi Putra Kelas Satu (de Eerste Klasse), sekolah ini lama
pendidikannya juga lima tahun. Namun, karena Van Heutsz dinilai kurang bermutu
dalam bahasa Belanda, maka masa belajarnya diangkat menjadi enam tahun. Untuk
anak Eropa didirikan sekolah khusus, yaitu ELS (Europese Lagere School).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar